Selasa, 19 Juli 2011

Selayang Pandang SMA Negeri Bali Mandara (Sampoerna Academy) Bali

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Berdirinya SMAN Bali Mandara (Sampoerna Academy) Bali pada tahun 2011, merupakan wujud komitmen Pemerintah Provinsi Bali dengan Putera Sampoerna Foundation dalam memajukan dunia pendidikan khususnya di daerah Bali. Kerjasama ini diawali penandatanganan MOU tahun 2009 lalu antara Yayasan Putera Sampoerna dengan Pemerintah Provinsi Bali, yakni menyetujui kesepakatan untuk meningkatkan mutu pendidikan serta memberikan kesempatan berupa beasiswa kepada siswa dari keluarga menengah ke bawah yang memiliki potensi menjadi calon pemimpin Bali dan Indonesia. SMAN Bali Mandara (Sampoerna Academy) Bali, dilengkapi sarana belajar mengajar berasrama dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah yang kompeten dan profesional I Nyoman Darta, serta didukung oleh 12 orang tenaga guru pilihan terbaik melalui proses seleksi ketat, baik guru yang telah berstatus pegawai negeri. Sekolah ini diarahkan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional dengan mengkombinasikan kurikulum standar nasional dan standar internasional yakni kurikulum Internasional General Certificate of Secondary Education (IGCSE) berasal dari Universitas Cambridge dan Standar Nasional Pendidikan diterapkan secara bersama pada Sampoerna Academy dalam rangka menyiapkan siswa berkualitas dan mampu bersaing baik di Indonesia maupun di luar negeri. Program akademik Sampoerna Academy diarahkan supaya siswa dapat meraih sertifikasi “International General Certificate for Secondary Education (IGCSE)”, yang diakreditasi oleh The University of Cambridge Internatioanl Examinations (CIE). IGCSE akan diterapkan hingga kelas 11, selain itu siswa juga dipersiapkan untuk menghadapi ujian nasional pada akhir tahun kelas 12. Adapun Mata pelajaran yang diajarkan dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia dan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yakni: Agama,PPKN,Bahasa dan Sastra Indonesia,Sejarah,Geografi,Sosiologi,Antropologi,seni dan budaya,music,olahraga dan muatan lokal. Sementara mata pelajaran yang diajarkan dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris yang menggunakan acuan Standar Nasional Pendidikan maupun IGCSE yakni; Bahasa Inggris,matematika,fisika,biologi,kimia,teknologi komunikasi dan informasi,ekonomi/business studies/enterprise. Penjurusan akan dilakukan pada kelas 11, siswa memilih jurusan sains dan ilmu sosial namun dikelas 11 dan 12 siswa akan belajar 12 mata pelajaran dalam setiap termnya.

Sampoerna Academy menggunakan standar pendidikan nasional dan internasional dengan penguatan di bidang akademik untuk mencerdaskan siswa dilengkapi penerapan program life skills non-akademik guna menunjang kemampuan sosial seperti program entrepreneurship dan leadership. Program learning to live (L to L) bertujuan untuk menciptakan individu-individu yang memiliki jiwa social, jujur, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat luas, lingkungan hidup, dan masyarakat dunia diantaranya program music, olahraga, kegiatan pelestarian lingkungan, community service, klub jurnalistik, dan lainnya. Program kewirausahaan pemuda untuk mendidik , membentuk , membina dan mengembangkan minat siswa memiliki jiwa wirausaha secara holistik.

Adapun Visi Sampoerna Academy, yakni menjadikan sekolah terbaik di Bali dalam mempersiapkan calon pemimpin masa depan. Misi, mendidik calon pemimpin masa depan yang memiliki kompetensi akademik dan non akademik, berwawasan global dan tanggung jawab dengan nilai-nilai integritas,menjadi terbaik,saling menghargai dan menghormati,berempati,berinovasi,berani,transparan dan terbuka,cinta tanah air, inklusif dan setia kawan. Angkatan pertama tahun ajaran 2011/2012 Sampoerna Academy menerima 75 orang siswa siswi yang telah melalui proses seleksi dari Yayasan Putera Sampoerna dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, yang diambil dari siswa SMP terbaik memiliki prestasi akademik maupun non akademik berasal dari keluarga kurang mampu. Siswa yang telah diterima di Sampoerna Academy Bali mendapatkan beasiswa sepenuhnya ditanggung oleh Yayasan Putera Sampoerna. Tahun akademik Di Sekolah Sampoerna Academy bisa berbeda tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat yakni satu term berlangsung selama 9 minggu. Siswa belajar di sekolah selama 5 hari dalam seminggu, dimulai hari senin hingga jumat dari pukul 07.00 – 15.15, dilanjutkan mengikuti program Learning to Live. Sementara hari sabtu dan minggu dapat digunakan untuk program learning to live. Setiap siswa diharuskan memenuhi minimum 240 jam aktivitas L to L dalam waktu 3 tahun selama belajar di sekolah.

Pendirian SMAN Bali Mandara Sampoerna Academy Bali mendapat dukungan Pemerintah Provinsi Bali dengan menyediakan lahan bangunan sekolah seluas 10 hektar sekaligus asrama siswa serta sarana dan prasarana. Sementara itu operasional sekolah dibiayai oleh Putera Sampoerna Foundation. Melalui kehidupan berasrama para siswa siswi dapat belajar bersosialisasi dan menjalani kehidupan mandiri yang berpegang pada aturan kerjasama, berorientasi pada pengembangan diri, saling menghormati, dan toleransi antar penghuni asrama.

Alamat sekolah : Jl. Air Sanih, Desa Kubutambahan, Buleleng-Bali.

Senin, 30 Mei 2011

obyek wisata water blow


Bali tidak hanya memiliki pantai Kuta yang menarik untuk dikunjungi,namun di daerah Badung selatan tepatnya di kawasan BTDC Nusa Dua,terdapat sebuah pantai dinamai pantai Peninsula diantara hotel-hotel berbintang lima. Lokasinya cukup mudah untuk ditemukan,hanya dengan memasuki kawasan BTDC,jika belum mengerti bisa ditanyakan dengan petugas security BTDC,yakni pintu masuk pemeriksaan. Dari kota Denpasar ditempuh kira-kira 30 menit,itupun kalau tidak macet. Di pantai Peninsula terdapat Water Blow dengan keindahan deburan ombak yang menyambar batu karang. Awalnya saya tidak tahu keberadaan Water Blow ini, saya diajak oleh seorang teman yang sedang mengalami suatu masalah. Katanya sih di tempat ini dia bisa menghilangkan segala bebannya setelah terkena deburan ombak,meski telah mengorbankan kamera dan ponsel mati seketika setelah terkena deburan ombak. Saya pun terkesima dan kaget melihat tempat yang sungguh mengasikan,tanpa ragu lagi saya langsung mengeluarkan kamera dan menunggu moment deburan ombak. Hampir saja kamera saya terkena deburan ombak.

Disamping kanan dan kiri saya terlihat pengunjung sangat menikmati deburan ombak ini disertai pemandangan batu karang. Sungguh mengasikkan sekaligus mengerikan jika kita berdiri diatas batu karang,dan bersiaplah pakaian menjadi basah terkena sapuan ombak. Namun disitulah letak kepuasan mengunjungi Water Blow seluruh badan terkena sapuan ombak yang menghantam. Menurut teman saya,jika seluruh badannya belum terkena letusan ombak,seluruh masalah dan beban belum bisa dihilangkan dari pikirannya. Water Blow juga biasa dipakai lokasi syuting film dan take pre-wedding,tapi khusus untuk yang foto pre-wedding siap-siap dikenakan charge ya.heee

Tapi,jika anda ingin melihat ombak lebih besar yang menyapu seluruh batu karang,alangkah baiknya datang tepat pada bulan purnama,dijamin seluruh badan akan basah. Kalau sudah begini,berhati-hatilah dengan ponsel dan kamera anda agar tidak menjadi korban.

Jumat, 22 Januari 2010

MAUSALA PARWA

Mausala Parwa
1. Berakhirnya Perang Besar
Tiga puluh enam tahun setelah perang besar berakhir, terjadilah pertanda-pertanda alam yang buruk maknanya. Maharaja Yudistira menyadari akan adanya tanda-tanda ini, angin kering bertiup kencang, debu, pasir, dan bahkan batu-batu kerikil beterbangan dari berbagai penjuru. Kaki langit seolah-olah tertutup mendung tebal. Cirit bintang berjatuhan menghantam bumi dengan bara panas berpijar. Matahari bagaikan selalu tertutup debu. Pada saat terbit dan saat terbenam, bundaran matahari itu seolah-olah disilang oleh tubuh-tubuh tanpa kepala. Nampak melingkari matahari dan bulan suatu lingkaran cahaya yang mengerikan. Lingkaran ini memperlihatkan tiga warna, hitam kasar, abu-abu, dan merah. Banyak lagi gejala-gajala alam yang menjadi ciri kemusnahan dan kehancuran. Dan benar saja, tidak lama kemudian, Maharaja Yudistira menerima kabar tentang mengamuknya para ksatria bangsa Wrishni dan dari antara mereka semuanya, hanya Wasudewa dan Rama saja yang selamat dari amukan massal itu. Dan yang lebih mangagetkan adalah berita tentang kemangkatan Wasudewa. Berita itu sangat sukar dipercaya, seolah-olah berita tentang mengeringnya air lautan.
Apalagi setelah diketahui bahwa kehancuran bangsa Wrishni itu diakibatkan oleh kutukan Brahmana. Sungguh mustahil dan aneh, sungguh aneh, bahwa kemusnahan itu disebabkan oleh ledakan-ledakan bom yang terbuat daripada besi. Sebenarnya apakah yang terjadi di Dwaraka?.
2. Kutukan Para Brahmana
Pada suatu hari, beberapa orang ksatri bangsa Wrishni, Sarana, salah seorang dari antaranya melihat kedatangan para rsi, yaitu Wiswamitra, Kanwa, dan Narada mengunjungi ibu kota kerajaan Dwaraka. Kelompok ksatria ini, karena memang telah terkena kutuk dewata, mencoba mengelabui para Brahmana itu, yaitu dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sangat menghina sifatnya. Samba menyamar menjadi wanita hamil, lalu beramai-ramai diarak dan diantarkan menghadap para Brahmana yang baru tiba itu. Salah seorang lalu mengajukan pertanyaan sebagi berikut, ”Wanita ini adalah istri Wabhru yang terkenal sakti itu dan ia sedang hamil tua. Dapatkah wahai Brahmana, mengatakan dengan setepatnya, apakah yang akan lahir dari kandungan ini?” ketiga Brahmana yang teramat sakti saling pandang satu sama lain. Kemudian dengan sangat marahnya, keluarlah kutukannya yang sangat dahsyat, ”keturunan Wasudewa ini bernama Samba, ia akan melahirkan sebuah bom besi yang akan meledak dan menghancurkan bangsa-bangsa Wrishni dan Andhakasa. Kalian semua sungguh berhati jahat, kejam dan mabuk kesombongan. Kalian akan saling bunuh dan bom-bom besi akan memusnahkan seluruh bangsa ini, kecuali Rama dan Janardhana. Rama ksatria bersenjatakan luku itu akan kembali ke dalam samudra, sementara Krishna yang sangat mulia itu akan tewas terkena panah seorang pemburu bernama Jara, pada waktu baginda sedang rebah di atas tanah melakukan yoga.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ketiga brahmana maha sakti itu meneruskan perjalanannya keistana untuk berjumpa dengan Kesawa. Krishna yang dijuluki pembunuh Raksasa Madhu setelah menerima laporan tentang kejadian itu, segera mengumumkannya kepada para pembesar bangsa Wrishni, beliau pun menegaskan bahwa segala sesuatu yang telah ditakdirkan, tidak dapat ditolak dan pasti akan terjadi. Setelah mengumumkan dan membicarakan masalah itu, Hrsikesa mengundurkan diri ke istana. Takdir yang telah ditentukan oleh penguasa alam memang tidak dapat dielakkan.
Keesokan harinya, Samba mengeluarkan bom terbuat dari besi dari dalam perutnya. Bom itu nampaknya mengerikan bagaikan maut itu sendiri. Kejadian ini dilaporkan kehadapan raja. Raja Ugrasena memerintahkan agar bom itu dimusnahkan dan kepingan-kepingannya agar dibuang kelaut. Benyak tenaga yang diperlukan untuk menghancurkan bom itu hingga hancur menjadi abu.
Dan sejak saat itu Ahuka Janardhana, Rama, dan Wabhru memerintahkan kepada segenap lapisan masyarakat untuk tidak meminum dan membuat minuman keras. Mereka yang melanggar akan dihukum seumur hidup bersama-sama dengan sanak keluarganya. Karena takut kepada raja, semua rakyat mentaati larangan itu.

3. Sanghyang Kala Penyebar Maut
Tetapi sementara bangsa Wrishni dan Andhaksa mentaati segala peraturan untuk mencegah terjadinya kekacauan, Sanghyang Kala terus menerus mengembara dari rumah ke rumah untuk menyebar maut. Sering orang melihat manusia hitam dan menyeramkan berkepala botak mamasuki rumah-rumah. Para ahli mamanah telah berkali-kali mencoba menembaknya, namun semua mereka itu gagal membunuhnya. Dia itulah sebenarnya Sang Kala, pemusnah segala makhluk.
Angin kencang terus-menerus bertiup, disertai oleh ciri-ciri alam yang tidak bisa berarti lain kecuali kehancuran bagi bangsa Wrishni dan Andhakasa. Tikus-tikus merajalela dimana-mana, kendi-kendi dan barang-barang lain yang terbuat dari tanah liat retak-retak atau pecah tanpa sebab. Pada waktu malam hari, tikus-tikus menggerogoti kaki dan rambut orang-orang yang sedang tidur. Burung-burung Sarika hinggap dan ramai berbunyi di atas atap baik siang maupun malam. Burung Sarasha berbunyi bagaikan burung hantu dan domba-domba berbunyi sebagai serigala. Banyak burung-burung berkeliaran seolah-olah takut kepada kematian, tubuhnya pucat dan kaki-kakinya berwarna merah. Burung-burung merpati selalu terlihat terbang meninggalkan rumah-rumah bangsa Wrishni. Keledai terlahir dari induk sapi dan gajah terlahir dari induk keledai. Kucing terlahir dari anjign betina, dan tikus-tikus dari kucing betina. Pelanggaran-pelanggaran susila telah terjadi dimana-mana.
Orang tidak merasa malu lagi dengan terang-terangan melanggar susila. Para brahmana, pitri, dan dewa-dewa tidak dihormati sebagaimana mestinya. Orang-orang sering menghina guru dan atasan. Dari antara bangsa Wrishni itu hanya Rama dan Janardhana saja yang bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kesusilaan. Para istri telah menghianati suami dan para suami menghianati istri. Dan api, apabila dinyalakan, nyalanya itu selalu meliuk kekiri. Kadang-kadang mereka mempermainkan api yang bernyala biru dan merah. Matahari pagi dan senja nampak bagaikan dikitari oleh bayangan tubuh-tubuh manusia yang tidak berkepala. Makanan-makanan yang telah dimasak dengan baik dan bersih pada saatnya disajikan penuh dengan ulat beraneka ragam.
Golongan brahmana hanya menerima hadiah-hadiah pada saat-saat tertentu, yaitu setelah memperhitungkan untuk orang-orang lain hari-hari baik guna melakukan suatu pekerjaan atau upacara orang-orang yang rajin bersembahyang, bersamadhi, atau membaca mantra-mantra, selalu diganggu oleh suara derap dan deru yang tidak dapat dituduhkan siapakah yang menimbulkannya. Gugus-gugus bintang sering terlihat dihantam oleh planet-planet.
Tidak ada seorang pun dari bangsa Yadawa yang dapat melihat lagi konstelasi bintang kalahirannya. Setiap kali panchajanya ditiup dirumah-rumah, maka terdengarlah suara hingar-hingar memekakkan telinga dari segala jurusan.
Semua ciri-ciri itu merupakan pertanda waktu telah matang dan alam pun telah mendekati kemusnahan. Bulan mati (tilem) yang biasanya jatuh pada hari (panglong) yang kelima belas ini telah terjadi pada hari keempat belas, atau pada panglong ketigs belas. Karena itu Hrsikesa mengumumkan kepada bangsa Yadawa sebagai berikut, ”Panglong keempat belas telah digelapkan oleh Rahu. Tanda-tanda seperti ini pernah terjadi pada waktu perang Bharata berlangsung. Rupanya saat kehancuran kita telah mendekat”.
Janardhana yang sakti, pembunuh raja Kesi, telah menyadari bahwa tahun ketiga puluh enam yang dahulu telah diramalkan oleh Gandhari kini sudah tiba. Tanda-tanda yang nampak sekarang memang sama dengan apa yang dilihat Yudistira pada waktu kedua pasukan yang saling bermusuhan berhadap-hadapan di medan pertempuran. Karena itu Wasudewa memerintahkan agar semua rakyat bersiap siaga untuk menjaga segala kemungkinan kalau-kalau apa yang diramalkan Gandhari benar terjadi. Wasudewa juga memerintahkan agar semua lapisan masyarakat melakukan perziarahan dan menyucikan diri ke tempat-tempat suci seperti ke pantai-pantai dan sungai-sungai keramat.

4. Hancurnya Bangsa Wrishni dan Andhakasa
Pada waktu itu kaum wanita bangsa Wrishni setiap malam bermimpi bahwa seorang wanita berkulit hitam legam dan bergigi putih telah muncul memasuki rumah-rumah dan tertawa berbahak-bahak, berlarilari seperti gila di jalan-jalan kota Dwaraka, serta merebut benang-benang tridatu yang dibelitkan pada pergelangan tangan para penduduk. Kaum laki-laki pun bermimpi bahwa seekor burung sangat dahsyat telah memasuki rumah mereka dan mengobrak-abrik tempat pemujaan serta mencuri pusaka-pusaka keramat seperti payung, keris, dan sebagainya. Dan oleh semua rakyat Wrishni disaksikan senjata cakra yang maha dahsyat kepunyaan Krishna terbang ke angkasa. Kereta Wasudewa yang cemerlang bagaikan surya itu lengkap dengan segala peralatannya telah terbang sendiri ditarik oleh keempat ekor kuda penariknya, yaitu Saiwya, Sugriwa, Meghapushpa, dan Walahaka. Kereta itu melesat menyusuri permukaan laut. Bendera kebesaran yang biasanya dipasang oleh Krishna dan Baladewa pada kereta masing-masing telah dibawa pergi oleh para apsara, penjaga-penjaganya. Bendera kebesaran Krishna berlambangkan burung garuda dan milik Baladewa berlambangkan pohon Palmyra, masing-masing sangat dijunjung tinggi oleh kedua ksatria tersebut. Kedua bendera itu dibawa lari oleh para apsara yang setiap hari menyerukan kepada penduduk agar melakukan perziarahan-perziarahan ketempat-tempat yang berair suci.
Orang-orang Andhakasa, Bhoja, Saineya, dan Wrishni, digerakkan oleh takdir kemusnahannya, tidak berhenti mengamuk dan saling bunuh satu sama lain. Dan siapapun, yang pada waktu itu sempat menggenggam rumput Eraka, seketika itu juga rumput tersebut berubah menjadi bom-bom yang sangat dahsyat. Inilah akibat dari kutukan brahmana itu. Rumput-rumput eraka yang dilemparkan, meledak dengan hebat menembus apa saja meski dinding sekeras baja sekalipun. Setiap helai rumput yang dilontarkan, berubah menjadi bom yang dahsyat. Perkelahian semakin membabi buta, tidak memandang siapa lawan siapa kawan. Anak membunuh ayah dan ayah membunuh anak. Mereka semua mabuk, maka terjadilah perkelahian massal yang kacau balau. Orang-orang Kukura dan Andhaksa berjatuhan bagai serangga menyerang nyala api. Dan anehnya, tidak ada seorang pun yang punya pikiran untuk meninggalkan tempat perkelahian itu. Melihat kenyataan ini Kesawa semakin yakin bahwa saat kehancuran total yang sudah diramalkan oleh Gandhari, memang sedang berlangsung. Karena itu ia hanya berdiri disana sambil bersiap siaga. Di tangannya telah siap sebuah bom untuk dilemparkan. Kemudian dilihatnnya Samba, Charudeshna. Pradyumna, dan Anirudha telah tewas. Madhawa menjadi sangat murka, lalu dilontarkannya bom di tangannya dan hancurlah seluruh bangsa Wrishni dan Andhakasa. Melihat kenyataan itu, Wabhru dan Daruka nan perkasa menghadap Khrisna dan berkata, ”wahai paduka nan suci, ribuan orang telah mati terbunuh oleh tangan paduka sendiri. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi mencari Rama. Hamba berdua berkehendak menyusul kemana Rama pergi”.

5. Tewasnya Khrisna
Bertiga mereka berangkat ketempat Rama menyepikan diri. Ketika itu rama sedang melakukan samadhi duduk bersandar di bawah pohon, di suatu tempat dipinggir hutan yang sunyi. Setelah sampai di tempat itu. Krishna memerintahkan kepada Daruka untuk membawa kabar ke negeri Kuru serta mengajak Arjuna untuk datang segera ke negeri Yadu yang telah hancur terkena kutukan brahmana itu. Sementara itu kepada Wabhru, Krishna memerintahkan sebagai berikut, ”kembalilah segera keistana. Jaga semua wanita dan anak-anak yang berlindung di sana. Jangan biarkan perampok dan penyamun menganiaya mereka atau merampas harta benda yang tersimpan di istana”.
Saat Rama sedang duduk terserap dalam yoga yang sangat dalam. Dari dalam rongga mulutnya ke luar seekor ular yang luar biasa. Kulitnya putih cemerlang dengan ribuan kepalanya dan bertubuh sebesar gunung. Matanya menyala-nyala merah. Perlaha-lahan bergerak menuju lautan, memang telah lama roh suci naga ini manjelma sebagai manusia. Kini ia keluar meninggalkan jasadnya. Naga yang dahsyat itu disambut oleh dewa, para naga, dan dewa-dewa sungai. Semua menyambut roh suci Rama, mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki, dan upacara lainnya. Semua memuja naga yang luar biasa itu.
Setelah kakaknya meninggalkan dunia ini, Wasudewa masih mengembara untuk beberapa waktu lamanya di dalam hutan. Tenaganya masih hebat seperti dahulu. Wasudewa ini sebenarnya adalah perwujudan dewa yang maha agung, karena itu sebenarnya beliau mengetahui segala-galanya. Akan tetapi beliau tidak terlepas dari kebutuhan manusia biasa dalam penjelmaannya ini. Dalam penjelmaannya ini beliau bertugas menjaga kelestarian ketiga dunia dan juga mengukuhkan kebenaran ucapan-ucapan putra Atri, Rsi Durwasa itu. Kini perasaan, ucapan, dan pikirannay telah dipersatukan. Tubuhnya rebah terlentang da dalam keadaan samadhi tingkat yang tertinggi. Tiba-tiba muncul di tempat itu seorang pemburu bernama Jara. Ia sedang memburu kijang. Kesawa yang terlentang di tanah sepintas lalu disangkanya seekor kijang. Panah terlepas dari busurnya, melesat dan menancap tepat ditelapak kaki Krishna. Jara menjadi pucat karena yang disangkanya kijang itu ternyata seorang pertapa berjubah kuning dan sedang melakukan yoga. Ia gemetar setelah melihat roh suci Krishna telah keluar dengan tangan-tangan banyak sekali, menjulur-julur keluar. Jara memohon ampun, menyembah serta memegangi kaki Krishna. Dengan ucapan penuh kasih sayang Kesawa menghibur hati Jara. Sesampainya di alam surga, beliau disambut oleh Wasawa, Aswin, Rudra, Aditya, Para Wasu, Wiswadewa, Para Muni, Siddha da para pemuka golongan Gandharwa ditambah para Apsara. Karena beliau berasal dari Narayana, para Ghandarwa menjaga, memujanya dengan nyanyian-nyanyian suci, bahkan Indra sekalipun memuja dia yang maha tinggi.

6. Kesedihan Menyelimuti Kota Drawaka
Daruka telah sampai ke negeri Kuru dan menghadap kepada putra-putra Pritha. Ia mengabarkan bahwa bangsa Wrishni telah musnah. Pandawa menerima berita kehancuran bangsa-bangsa Wrishni, Bhoja, Andhakasa, dan Kukura itu sangat terkejut dan sedih. Pengunduran diri Krishna ke alam kekal merupakan suatu berita yang sulit dipercaya, seandaikan semua samudra telah menjadi kering. Lebih-lebih kehancuran itu karena kutukan brahmana dan bom-bom yang meledak. Segera Arjuna sahabat Kesawa itu mohon diri untuk berangkat menjenguk paman dari pihak ibunya. Kota Dwaraka kosong dan sepi. Wanita-wanita di istana yang dahulu diperistri oleh Kesawa semuanya kini tidak bersuami. Melihat Patha datang untuk melindungi mereka, semuanya lalu menjerit menyatakan kedukaan hatinya. Enam belas ribu wanita telah dipersunting oleh Wasudewa, semuanya kini menangis sedih ditinggalkan suami yang patut melindungi mereka. Arjuna tidak dapat menahan air mata setelah menyaksikan keadaan mereka. Sungai yang melintas kota Dwaraka, sejak semula telah menjadi sumber penghidupan bangsa Wrishni dan Andhakasa nampak menakutkan bagaikan Waitarani yang ganas sedang diringkus oleh jaring sang waktu. Tidak kelihatan lagipahlawan-pahlawan bangsa Wrishni yang gagah perkasa itu. Sedih dan kelabu bagaikan kembang padma di musim dingin salju.

7. Arjuna Menyaksikan Kehancuran Bangsa Yadu
O, Arjuna dia berpesan begini kepadaku ”akhirnya kemusnahan bangsa kita terjadi juga. Wibhatsu segera akan datang ke kota Dwarawati ini. Ceritakanlah kepadanya semua yang terjadi. Ananda yakin setelah mendengar berita kehancuran bangsa Yadu ini, sahabatku itu pasti datang secepatnya. Ketahuilah, O, Ayahku, bahwa ananda ini Arjuna dan Arjuna itu (adalah sama dengan) hamba sendiri. Taatilah apapun yang dianjurkan olehnya untuk dilakukan. Putra Pandu itu pasti akan melakukan apa pun yang terbaik bagi para wanita dan anak-anak itu. Bahkan, dia pula yang nanti akan menyelenggarakan upacara pemakaman ayahanda. Adapun kota Dwarawati ini, segera setelah ditinggalkan pergi oleh Arjuna, lengkap dengan tembok-temboknya, akan dihancurkan dan ditelan oleh gelombang laut pasang. Hamba sendiri akan mengundurkan diri ke suatu tempat suci bersama-sama dengan Rama serta menantikan kedatangan ajal hamba. Hamba akan melakukan tapa brata dengan ketat”. Demikian Hrisikesa berpesan kepadaku O, Ananda Arjuna, dan kini dia telah pergi entah kemana. Sejak saat itu aku telah berpuasa tidak pernah makan dan hatiku telah hancur luluh. Aku tidak akan mau makan ataupun hidup. Untung ananda masih menemukan aku dalam keadaan masih hidup di tempat ini. Lakukanlah apa yang dipesankan oleh anakku itu, O, putra Pritha. Aku akan segera melepaskan jiwaku ini, betapapun aku masih menyayanginya.

8. Wasudewa Mangkat
Dengan perasaan sedih tetapi masih tersedu-sedan, Wibhatsu menjawab kata-kata pamannya. ”Pamanda, hamba pun tidak sanggup melihat dunia ini yang telah ditinggalkan oleh para pahlawan bangsa Wrishni dan oara pahlawan kaum kerabat hamba sendiri yang lain. Kakanda Maharaja Bhimasena, Sahadewa, dan Nakula demikian juga Yadnaseni, semuanya telah sependapat dengan ananda. Waktu yang terakhir pun telah tiba buat kami juga. Waktu itu telah sangat dekat. Hamba tahu bahwa pamanda adalah seorang diantara mereka yang paling memahami berlangsungnya gerakan waktu. Tetapi sebelum saat ini tiba hamba ingin memindahkan kaum wanita, anak-anak dan orang tua bangsa Wrishni ke Indraprastha.
Dengan diliputi kesedihan, dikumpulkannya para wanita dan barang-barag yang tersisa. Sambil menunduk dan menangis mereka melanjutkan perjalanan sampai ke Kuruksetra. Di sana rombongan itu dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Putera Kritawarman memimpin kaum wanita bekas kekuasaan Raja Bhoga dan membangun tempat pemukiman di Marttikawat. Sebagian lagi kaum wanita, orang-orang tua dan anak-anak dipimpin oleh Arjuna ke Indraprastha dan endirikan tempat pemukiman disana. Putra Yuyudhana, atas perkenaan Arjuna, memimpin rombongannya untuk mendirikan tempat pemukiman di tepi sungai Saraswati. Bajra menjadi raja Indraprastha.

9. Nasihat Maharsi Wyasa Kepada Arjuna
Rsi Wyasa bersabda. ”para pahlawan kereta bangsa Wrishni dan Andhakasa semuanya telah dimusnahkan oleh kutukan Brahmana. Karena itu janganlah dirisaukan lagi akan kehancuran mereka. Apa yang terjadi dengan bangsa-bangsa itu memang dahulu telah ditetapkan. Itulah takdir yang sama sekali tidak mungkin lagi untuk diletakkan. Kejadian itu memang harus dihadapi oleh para pahlawan itu. Krishna harus mampu menahan penderitaan itu, meskipun dia tidak mampu menghalangi agar kejadian itu tidak berlangsung. Gowinda itu mahakuasa, dia mampu meski merubah arahnya gerakan alam semesta lengkap dengan segala isinya apabila dia menghendakinya. Apalah artinya sekedar kutukan brahmana. Krishna yang biasa menjadi sais keretamu itu adalah Wasudewa sendiri, yaitu maharsi yang ada sejak mula pertama alam penciptaan dan penjelmaannya di dunia ini sebagai Krishna adalah meringankan penderitaan di dunia ini. Tugasnya itu kini sudah selesai dan setelah melepaskan jasadnya sebagai manusia dia telah kembali ke tempatnya semula. Sedangkan cucunda sendiri, wahai ksatria, dengan dibantu oleh Bhima dan saudara kembar Nakula dan Sahadewa, juga turun ke bumi ini untuk melaksanakan tugas yang digariskan oleh Dewata mulia. Tugas-tugas itu telah kau rampungkan seluruhnya. Engkau dan saudara-saudaramu yang lain, menurut pendapatku telah berhasil dengan gemilang. Saatnya memang telah tiba untuk kalian semua mengundurkan diri. Dan pengunduran diri adalah jalan yang terbaik yang patut ditempuh dalam situasi seperti ini. Wahai ksatria, camkanlah kata-kataku ini. Bahwa pengertian, kekuatan, dan pandangan luas, baru akan muncul apabila kemakmuran bagi semua sudah tercapai. Semuanya itu akan lenyap apabila kemiskinan dan kekacauan merajalela. Semua itu bersumber dari sang waktu. O, Dananjaya benih pertama dari alam semesta ini, waktu itulah yang akan memusnahkan segala-galanya. Seseorang menjadi kuat, hebat dan mulia, dan kemudian kehilangan segala-galanya. Seseorang menjadi raja, dan kemudian digulingkan untuk menjadi hamba sahaya. Senjata cucunda telah kembali ke tempat asalnya. Dan ia akan kembali ke tanganmu apabila saatnya telah tiba nanti. Inilah saatnya buat kamu sekalian mempersiapkan diri guna mencapai tujuan terakhir. Ini saja yang dapat kuanjurkan untuk saat ini!”.
Setelah mendengarkan nasihat itu, Aruna kembali ke kerajaan Pandawa serta melaporkan segala sesuatunya kehadapan Yudistira.
Purana merupakan bagian dari Veda Smrti, yang memiliki posisi yang penting dan strategis dalam tata urutan Veda dan susastra Hindu. Bahwa Veda adalah sabda atau wahyu Tuhan Yang Haha Esa merupakan sumber pertama ajaran agama Hindu. Veda tidak hanya termasuk kitab-kitab Catur Veda Samhita seperti Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda. Disamping kitab-kitab tersebut yang termasuk kelompok wahyu Tuhan Yang Maha Esa adalah juga kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad yang tidak seluruhnya lengkap terwarisi umat Hindu. Banyak kitab-kitab Aranyaka, Brahmana, dan Upanisad yang karena disusun dalam kurun waktu yang lama tidak terwarisi juga. Di samping kitab Veda atau Sruti tersebut diatas, masih terdapat lagi sumber ajaran agama Hindu yaitu kitab-kitab Itihasa, Purana, Dharmasastra dan Darsana. Kitab-kitab Itihasa dan Purana dapat digolongkan sebagai gudang pengetahuan agama yang sangat besar. Kitab-kitab tersebut disusun oleh para Rsi (human origin) yang dimaksudkan untuk menjabarkan ajaran suci Veda yang demikian luas, penuh kandungan spiritual, filisofis, moralitas, edukatif dan lain-lain.
Kitab-kitab Smrti menyatakan bahwa Purana adalah buku-buku yang memberikan komentar (penjelasan) tentang segala sesuatu dalam kitab suci Veda. Dari pernyataan tersebut diatas dapat disebutkan bahwa Purana benar-benar merupakan susastra Veda yang amat tua usianya disusun jauh dimasa yang lalu (Vettam, 1989: 617). Purana merupakan susastra Veda yang sangat besar, terjemahannya yang valid sudah tersedia dan kitab-kitab ini semakin populer juga di negara-negara Barat. Di dalamnya terdapat aneka fantasi yang mengembirakan orang-orang Barat, seperti halnya anak-anak India dan mereka memberikan hiburan juga tentang susastra tentang kisah cinta dari kitab-kitab Purana. Berhubungan dengan pengalaman umat manusia tanpa mengenal batas waktu, kegembiraan dan tragedi umat manusia di mana-mana, mereka sampai kepada pembaca di Barat, seperti halnya di India. Purana merupakan salah satu susastra Veda (Hindu) yang di dalamnya penug dengan ceritra keagamaan, memberi tuntunan bagi hidup dan kehidupan umat manusia. Purana bagaikan glosari, ensiklopedi, dan konpedium dari Veda dan susastra Hindu. Dengan membaca kitab-kitab Purana, umat yang awam terhadap ajaran agamanya akan lebih mudah memahami, menghayati dan mengamalkan. Di dalam kitab-kitab Purana kita menjumpai berbagai aspek ajaran agama Hindu, mulai dari teologi atau sraddha (keimanan), moralitas (etika), berbagai aspek acara (ritual) termasuk di dalam berbagai tuntunan untuk berbhakti kepada-Nya, berbagai keutamaan tempat-tempat suci untuk melakukan Tirthayatra, dan lain-lain yang sangat mempesona dilukiskan di dalamny
Keutamaan kitab Purana
Purana sebagai satu jenis susastra Hindu, Purana telah ada sejak jaman Veda dan disebutkan bersamaan dengan kitab-kitab Purana, Itihasa dan Narasamsigatha di dalam kitab suci Atharvaveda (XI.7.24 dan XV.6.11) dan di dalam kitab Gopatha (I.2.10) dan Satapatha Brahmana (14.6.10.6), dan juga Taittriya Aranyaka (2.10) dan disebut sebagai Veda yang ke-5 di dalam Chandogya Upanisad dan dibentuk sebagai silabus dari studi Veda seperti disebutkan dalam Asvalayanasutra (3.3.1). seperti telah disebutkan diatas, istilah Purana sebagai suatu karya sastra keagamaan yang di dalamnya dikandung cerita-cerita kuno dapat pula kita jumpai di dalam beberapa susastra Veda, diantaranya dalam kitab-kitab Itihasa, seperti dalam Ramayana (karya Maharsi Valmiki) dan Mahabrata (karya Maharsi Vyasa). Berikut kutipan sloka Ramayana :
Etac-chrutva rahah suto
Rajanam idam abravit
Sruyatam tat puravrttam
Purane ca yatha srutam

Ramayana I.9.1

Artinya :
Dengarkanlah hal ini (perhatian yang agung Dasaratha, ketika akan menyelenggarakan upacara korban kuda, untuk memperoleh putra yang mulia), Sumantra (salah seorang kusir kereta dan juga seorang menteri dari raja Dasaratha) berbicara kepada sang raja secara pribadi, sebagai berikut : (Yang Mulia), dengarkanlah sebuah cerita kuno yakni di dalam kitab Purana.

Kata Purana yang dimaksud merupakan penggalan dari puranam akhyanam yaitu merupakan cerita kuno. Maharsi Kautilya pada kitabnya Arthasastra (I.5.14) yang membahas tentang Itihasa menyebutkan Purana dan itivrtta dari segi isinya merupakan bagian dari Itihasa. Itivrtti berarti peristiwa bersejarah. Purana kemungkinan berarti mitologi dan tradisi yang lama dalam legenda. Pada kepustakaan kuno, dalam kitab-kitab Brahmana, kitab-kitab Upanisad dan buku-buku ajaran Buddhisme kuno, kata Purana dapat disejajarkan secara umum dalam hubungannya dengan Itihasa. Telah dinyatakan bahwa dengan Itihasa dan Purana atau Itihasapurana disebutkan berulang kali sebelumnya, merupakan buku tambahan penjelasan dari Veda dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya yang di dalamnya terkandung pengetahuan tentang pemujaan kepada para Dewa seperti disebutkan dalam Chandogya Upanisad (VII.1.2) dan VII.2.1) sebagai Veda yang ke-5 (itihasapuranam vedanamvedam) setelah kitab Catur Veda dan kitab-kitab Vedangga. Kitab-kitab Itihasa dan Purana sangat dekat hubungannya dengan Atharvaveda seperti disebutkan dalam Chandogya Upanisad (III.4.1-2/ Winternitz, 1990: 293).
Shakuntala Jagannatha menjelaskan tentang kitab-kitab Purana, sebagai berikut: ” setelah Sruti, Smrti dan Itihasa kita memiliki buku yang ke-4 yakni kitab-kitab Purana. Kitab-kitab Purana ini terdiri dari 18 macam , yang populer adalah Bhagavata, Visnu dan Markandeya Purana dan 18 Purana kecil (Upapurana). Purana tidak unutk mereka yang cerdik pandai dan kaum intelektual, meskipun ceritanya bersumber dari kebenaran filsafat dalam kitab suci Veda dan dharmasastra yang disusun dalam berbagai episode dan cerita pendek, yang diceritakan untuk masyarakat awam, masyarakat desa yang sederhana dan para petani yang buta huruf. Imajinasi yang terdapat dalam cerita-cerita ini memiliki bentuk dasar pendidikan agama dan kebiasaan masyarakat dan membantu mereka secara sederhana tetapi mandasar kepada kebenaran dalam agama dan moralitas, serta petunjuk hidup, benar salah dalam bertingkah laku (1984: 20).
Purana adalah kitab-kitab susastra Hindu yang mengajarkan agama yang kuno, filsafat, sejarah, sosiologi, politik dan subyek yang lainnya. Purana adalah sebuah ensiklopedi sebagai cabang ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan purba. Adapun pokok-pokok ajaran purana, yakni :
1. SRADDHA
1. Brahmavidya
Brahmavidya (teologi) Purana memperlihatkan heteroenitas, hampir semua devata dipuja dalam kitab-kitab Purana, demikian pula devata yang sangat populer seperti Brahma, Visnu dan Siva menempati posisi yang sangat tinggi dan memberi identitas terhadap sebuah kitab Purana. Demikian pula halnya dengan devata yang dipuja dalam kitab suci Veda, seperti Indra dan Agni tetap juga menempati posisi yang sangat penting dan Indra disebut sebagai pemimpin para Deva (Divapati) yang memimpin kahyangan (Svargapati), sedang devata yang lain menempati posisi dibawahnya, selain posisi Brahma, Visnu dan Siva seperti yang disebutkan diatas. Varuna adalah dewa samudra yang muncul beberapa kali, sedang Mitra tidak lagi dipuja. Dewa Surya menempati posisi yang sangat penting.
Tiga devata sebagai manisfestasi utama-Nya adalah Brahma, Visnu dan Siva. Brahma adalah penciptaan alam semesta, Visnupemelihara dan Siva sebagai pelebur kembali alam semesta beserta seluruh isinya. Satu kali Brahma disebut sebagai devata yang paling tinggi seperti disebutkan dalam Markandeya Purana (XLX.f), namun dalam kitab Purana lainnya posisinya lebih rendah dari Visnu dan Siva dan secara relatif masing-masing memiliki supremasi dalam ajaran teologi. Kitab-kitab Purana membagi ajaran yang terkandung di dalamnya yang diklasifikasikan menurut subjek dan tiga kualitasnya, yakni kebajikan, kasih sayang dan kegelapan. Dalam Matsya Purana (LIII.68) menyebutkan bahwa kitab-kitab Purana yang mengagungkan Visnu sebagai devata tertinggi disebut Purana Sattvika, yakni ditandai dengan kebajikan, tenang dan benar, kitab-kitab Purana yang mengagungkan Siva dan Agni sebagai devata tertinggi disebut Purana yang bersifat Tamasa, yang ditandai dengan kegelapan. Sedangkan kitab-kitab Purana yang mengagungkan Brahma disebut Purana yang bersifat Rajasa, yang ditandai dengan sifat-sifat yang penuh nafsu.
2. Atmavidya
Kata atma atau atman berarti nafas, jiwa atau roh. Atman adalah nafas hidup yang dapat dijumpai dalam beberapa mantram Veda, dan dalam pengertiannya yang lebih tus berarti jiwa atau yan menghidupkan yang juga berarti sang diri dan dibedakan dengan bukan sang diri dan hal ini dibedakan menjadi 4 jenis, yakni : (1) milik perorangan, milik baan yang bertentangan dengandunia luar, (2) tubuh yang dibedakan dengan lengan, (3) jiwa yang dibedakan dengan badan, (4) yang intisari yang dibedakan dengan yang bukan intisari. Banyak contoh uraian tentang hal tersebut dapat ditemukan dalam mantram-mantram suci Veda (Subodh, 2000: 21). Secara khusus dan mendetail uraian tentang atman dan sekaligus pula Brahman diuraikan secara panjang lebar di dalam kitab-kitab Upanisad.
3. Karmaphala
Ajaran tentang karma ini diuraikan oleh berbagai kitab Purana yang menurut Visnu Purana (I.1.27; VI.4.21) merupakan hal yang sangat penting dalam ajaran agama Hindu. Di dalam ajaran karma ini juga terkandung ajaran tentang yajna sebagai yang terbaik, diantara berbagai ajaran tentang karma (Visnu Purana II.14.14). di dalam kitab suci Veda seperti halnya di dalam kitab Bhagavata Purana (VII.15.47-49) karma terdiri dari dua macam, masing-masing ”pravartta” dan ”nivrtta” sedang di dalam Visnu Purana (I.1.27; VI.4.41) disebut dengan istilah ”Pravrtti” dan ”Nivrtti” yang mengandung makna jalan umum dan yang khusus, Karmayoga dan Jnanayoga. Ada klasifikasi tentang karma yaitu : Vaidika, Tantrika, dan Misra (campuran keduanya) seperti yang disebutkan di dalam Bhagavata Purana (XI.27.7)
4. Samsara/Punarjanma
Samsara/Punarjanma adalah teori tentang kelahiran kembali seseorang atau makhluk hidup mengalami kematian. Setelah mati rohnya menjelma kembali. Kitab-kitab Purana, khususnya Bhagavata Purana (III>30.1-40) menguraikan secara gamblang tentang Samsara atau kelahiran kembali ini. Vettam Mani dalam bukunya Puranic Encyclopaedia (1989:613) merangkum teori tentang kelahiran kembali dengan mengambil sumber kitab suci Veda.
5. Moksa
Moksa berarti tiada keterikatan Atma dan bersatu dengan Brahman. Dalam Brahmanda Purana (3.4.3.58-60) disebutkan tiga tingkatan Moksa oleh orang yang melihat kebenaran, yaitu: pertama adalah kelepasan dari keterikatan Ajnana. Kedua adalah keselamatan lepas dari Raga-Samksaya (hancurnya keterikatan yang sangat mendalam/kemelekatan). Ketiga adalah Trsnaksaya (menghancurkan kehausan, seperti sangat terikat dengan keduniawian/kemelekatan indrawi) lebih jauh tentang Moksa dapat dijumpai dalam vayu Purana.

2. Tata Susila / Etika
1 . Dasar Etika dan Moralitas
Dasar etika dan moralitas Hindu adalah keyakinan yang mendalam erhadap kelahiran kembali atau perpindahan roh yang merupakan rangkaian dari ajaran karma, yang menurut ajara ini setiap perbuatan baik atau buruk akan memperoleh pahala, tidak hanya sorga tetapi juga neraka, dalam penjelmaan yang berulang-ulang dengan mengenakan berbagai badan dari badan yang suci seperti devata yang agung atau menjadi serangga atau tubuh-tumbuhan dan bahkan menjadi batu. Demikianlah kelahiran akan mengalami kemerosotan meresapi semua ciptaan yang berlaku pula pada kelahiran sebagai manusia, dari kelahiran yang tinggi sebagai rohaniawan atau yang rendah sebagai candala (penuh cacat).
2. Catur Purusa Artha
Dharma, kebenaran kitab-kitab Purana mengajarkan ajaran agama yang sagat populer dan merupakan landasan yang kokoh dalam ajaran Brahmanikal. Artha tentang harta benda diuraikan dalam kitab-kitab Purana, tetapi upaya untuk meningkatkan kemakmuran bagi seorang raja. Kama berarti cinta. Di dalam Bhagavata Purana (III.12.26) dinyatakan bahwa kama muncul dari hati Dewa Brahma perlu dikendalikan terutama bagi grhastha (V.14.4) dan bila tidak dikendalikan, seseorang tidak mampu mengendalikannya, manusia seperti itu bagaikan seekor anjing. Moksa tujuan tetinggi dalam kaitannya dengan empat tujuan hidup manusia (catur purusa artha) adalah moksa. Moksa adalah pembebasan terakhir dari semua eksistensi di dunia ini.
3. Caturvarya
Seperti halnya Purusa Sukta Rgveda menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang menyatakan Tuhan Yang Maha Esa (Mahapursa) yang menciptakan anatomi masyarakat profesi yang dikenal dengan Catur Varna (empat profesi) : Brahma, Ksatria Vaisya, dan Sudra dan menyerahkan tugas dan kewajibannya serta prosedur hukum kepadanya.


3. ACARA AGAMA
1. Sadacara
Sadacara artinya tradisiyang benar atau baik dari kata ’sat+acara”yakni tradisi yang benar dan baik yang telah diterima secara turun-temurun. Tradisi yang benar dan baik tentunya tidak bertentangan dengan ajaran suci Veda, dan bahkan sadacara ini merupakan penjabaran atau bentuk praktis pengamalan ajaran suci Veda. Singkatnya aplikasi ajaran Veda untuk kehidupan sehari-hari mengacu kepada Samsara
2. Tempat Suci
Pertemuan dua sungai (dviveni) dan tiga sungai (triveni) dipandang sebagai tempat yang sangat suci baik di India maupun di Bali. Pertemuan dua atau tiga sungai sangat baik dijadikan tempat untuk menyucikan diri (prayascitta atau melukat) dan merupakantempat para devata untuk bercengkrama, tempat yang disenangi oleh para dewa dan roh-roh suci.
3. Upacara pancayajna
Bila kita melihat kronologis Veda dan susastra Veda, maka kita akan melihat perkembangan upacara yajna, khususnya rumusan Panca Yajna (dalam sumber sanskerta sering disebut Panca Maha Yajna) dari kitab-kitab yang tertua sampai yang lebih muda dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.
PURA TULUK BIYU KAHYANGAN JAGAT

Pura Tuluk Biyu yang sering disebut Pura Batur Kanginan ini tergolong Pura Dewa Pratistha. Artinya yang menjadi pusat pemujaan di Pura Tuluk Biyu ini adalah Tuhan sebagai Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya yaitu Dewa Uma Parwati. Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya inilah sebagai Ista Dewata tertinggi yang di puja di Pura Teluk Biyu ini. Di pura ini memang ada beberapa pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur seperti adanya beberapa Pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Antara lain: Pelinggih Ida Ratu Maspahit Ida Ratu Dalem Majelekah, Majelanggu.
Pura Tuluk Biyu yang berdiri megah di sebelah selatan Pura Ulun Danu Batur di pinggir jalan Denpasar Singaraja lewat Kintamani ini sering juga disebut Pura Batur Kanginan. Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu pada mulanya berada di Desa Batur di bawah lereng Gunung Batur. Saat berada di bawah Pura Tuluk Biyu ini letaknya memang disebelah Timur Pura Ulun Danu Batur yang berada disebelah Utara Pura tuluk Biyu sekarang ini. Saat Bali diserang gempa yang sangat dasyat yang juga disebut jaman ”Gejer” Pura Ulun Danu Batur dan juga Pura Tuluk Biyu dan juga Pura-Pura lainnya di Bali banyak yang hancur berantakan. Untuk membangun kembali di Pura yang hancur tersebut maka Pura yang hancur di bawah kaki Gunung Batur itu lantas dibangun kembali di tempatnya yang sekarang di pinggir sebelah timur jalan Kintamani menuju Singaraja dari Denpasar. Karena itu Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu dewasa ini berjejer di timur jalan Kintamani Singaraja.

Riwayat Berdirinya Pura Tuluk Biyu
Pura Tuluk Biyu adalah Pura Kahyangan Jagat. Artinya Pura ini meupakan Pura untuk pemujaan umum bagi umat Hindu. Siapa saja umat Hindu di Bali maupun di luar Bali boleh saja melakukan pemujaan di Pura Tuluk Biyu ini. Pura Tuluk Biyu ini di duga didirikan pada jaman pemerintahan Raja Udayana. Salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Udayana berangka tahun 933 Saka, ada yang menyatakan suatu daerah yang disebut ” Karaman iwingkan ranu Air Hawang ”, yang mungkin maksudnya ada suatu Desa (karaman) di bintang danu di Gunung Abang. Dalam prasasti Jaya Pangus berangka tahun 1103 Saka ada menyebutkan nama raja ”Paduka Sri Maha Raja Haji Jaya Pangus Arkaja. Juga ada menyatakan Bhatara Tuluk Biyu dan Desa Erabang. Disamping itu juga ada menyatakan adanya penyelesaian persengketaan atau kekacauan dalam pemerintahan dan masyarakat.
Dalam prasasti Raja Wijayarajasa dengan angka Tahun Saka 1306 upacara atau hari raya keagamaan di Herabang. Disamping itu pernyataan prasasti Air Hawang dengan angka tahun Saka 933 yang menyatakan adanya upacara Dewasraya untuk Sang Hyang Wukir Kulit Biyu.
Disamping adanya data-data prasasti tersebut ada juga cerita rakyat yang diterima turun-temurun tentang adanya keadaan bumu Bali yang kacau sehingga Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Giri Natha mengutus Bhatara Narada turun ke bumi membawa Tirtha Banyu Geger ini di bawa dengan menggunakan kulit pisang mas dengan di potong dua. Isi pisang emas itu dikeluarkan terus dijadikan tempat Tirtha Banyu Geger tersebut. Untuk memercikan Tirtha kulit pisang emas itu diganti dengan menggunakan bambu kuning. Setelah Tirtha Banyu Geger itu dipercikan pada tempar-tempat yang bermasalah keadaan Gumi Bali menjadi tentram dan Jagat Hita dan rakyat hidup sejahtera lahir batin. Penyampaian Tirtha Banyu Geger itulah sebagai puncak Upacara Madewasraya untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa melakukan upaya kehidupan yang bernilai keagamaan yang bertujuan untuk mencapai Madewasraya atau penyerahan diri dengan dasar yadnya dan bhakti untuk mendapatkan perlindungan Tuhan. Dalam rangka itulah didirikan Pura Tuluk Biyu di Kintamani sebagai media pemujaan Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Giri Natha atau Parwataswara beserta dengan Dewi Uma Parwati sebagai Dewi Giri Putri. Jadi Pura Tuluk Biyu tersebut sebagai sarana suci untuk mengingatkan umat Hindu terutama di Bali agar senantiasa melaksanakan yadnya dan bhakti pada Ida Bhatara Giri Natha di Gunung Abang dengan konsep Madewasraya. Dari pelaksanaan Madewasraya yang baik, benar dan tepat di Pura Tuluk Biyu itu umat akan memperoleh Tirtha suci Banyu Geger. Tirtha ini adalah simbol sakral yang wajib diyakini kesucian dan manfaatnya bagi pengembangan kehidupan yang dinamis tetapi tetap harmonis mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahtera lahir dan batin.
Arti dan makna tirtha suci Banyu Geger kalau direnungkan lebih dalam lagi memiliki arti dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan hidup umat Hindu terutama umat Hindu di Bali. Kata ” Banyu ” dalam bahasa Jawa Kuna berarti air yang hening dan suci lambang kehidupan. Karena bahan makanan umat manusia berasal dari air. Tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak akan bisa hidup tanpa air. Karena itu Canakya Nitisastra menyatakan air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan /obat-obatan dan kata-kata bijak adalah merupakan tiga Ratna Permata di bumi. Sedangkan kata ”Geger” artinya sama dengan ”dhira” artinya tangguh atau tidak mudah goyah. Ini artinya keadaan Madewasraya akan dapat diwujudkan apabila dalam hidup ini manusia selalu minum air kesucian yang dapat membuat manusia memiliki daya tahan mental yang tangguh tidak mudah tergoda AGHT kehidupan di dunia ini. AGHT adalah ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan. Maka hakekat keberadaan Pura Tuluk Biyu dengan upacara Madewasraya serta Tirtha Banyu Gegernya eksistensi universalnya wajib semakin dimunculkan ketengah-tengah umat Hindu khususnya dan masyarakat luas pada umumnya karena upaya untuk mencari perlindungan pada Tuhan (Dewasraya) itulah suatu upaya yang paling tepat pada jaman kali ini.

Pelinggih Pemujaan di Pura Tuluk Biyu
Di Pura Tuluk Biyu Bhatara Siwa Giri Natha dan Bhatari Uma Parwati di wujudkan dengan dua jenus simbol, ada yang berbentuk Arca (Pratima) dan berbentuk Pelinggih Meru. Dua arca emas setinggi kurang lebih 30cm yang merupakan perwujudan simbolik Ida Bhatara Siwa Giri Natha dan Ida Bhatara Uma Parwati. Umat menyebut arca itu bhatara dan Bhatari Tuluk Biyu. Dalam prasasti Air Hawang 1011 M, dinyatakan sebagai Bhatara Kulit Biyu. Dua arca emas tersebut sangat identik dengan Arca Siwa Parwati dari Gemuruh Wonosobo Jawa Tengah dan juga arca emas dan perak yang melambangkan Dewa Siwa dan Parwati di gua Seplawan di Purworejo. Bhatara Siwa Giri Natha dan Bhatari Uma Parwati juga di puja dalam Palinggih Meru Tumpang Sembilan dan Meru Tumpang Tujuh. Meru Tumpang Sembilan ini didirikan di bagian sisi Timur Jeroan Pura Tuluk Biyu dan disebelah atau di selatannya atau sebelah kirinya Meru Tumpang Tujuh. Umat umumnya menyebutnya Meru Tumpang sembilan ini sebagai pelinggih Ida Bhatara Sakti Tuluk Biyu Puri Kaleran sedangkan Meru Tumpang Tujuh sbagai pelinggih Ida Bhatara Sakti Tuluk Biyu Puri Kelodan. Di dua Meru inilah Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sebagai Bhatara Siwa Giri Natha di puja sebagai purusa dan pradhana. Di Meru Tumpang Sembilan sebagai purusa yang memberikan jiwa niskala pada kehidupan isi alam semesta. Sedangkan di Meru Tumpang Tujuh beliau di puja sebagai pradana yang memberikan kesejahteraan hidup sekala pada isi alam ini terutama manusia. Di depan dua Meru tersebut terdapat bangunan pelinggih yang cukup megah berupa Bale Pasamuan. Bale Pasamuan yang beratap ini sebagai media Ida Bhatara tedun, ngeluhur, dan masimpen. Saat puja wali atau ada upacara besar di Bale Pasamuan inilah Ida Bhatara Bhatari Tuluk Biyu dilambangkan tedung memulai umatnya memberikan wara nugraha atau mapaica sweca kepada umatnya yang melakukan yadnya dan bhakti pada Ida Bhatara Siwa Giri Natha yang disebut Bhatara Sakti Tuluk Biyu. Saat selesai upacara puja wali melalui Bale Pasamuan inilah Ida Bhatara ”masineb” teru ke Palinggih Meru yang ada di timur Bale Pasamuan tersebut.

Makna Banten Upakara ”Madewasraya”
Upacara :Madewasraya” ini adalah suatu upakara untuk ,mewujudkan Tattwa dan Susila Sastra suci ajaran Agama Hindu di Pura Tuluk Biyu. Karena itu makna Banten Upacara ”Dewasraya” itupun tidak akan menyimpang dari Tattwa dan Susila Sastra suci ajaran Agama Hindu. Arti dan makna Banten secara umum ada dinyatakan dalam Lontar Yadnya Prakerti sbb :
Sahananing bebantenan pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida bhatara, pinaka andabhuwana.......sekare pinaka keheningan katulusan kayunta mayadnya, plawa pinaka peh pakayunane suci, reringgitan tatuwasan ipun pinaka kelanggengan kayune mayadnya, raka-raka pinaka widyadhara-widhya dhari.

Maksunya : segala jenis banten lambang diri manusia, lambang kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga simbol keheningan dan ketulusan beryadnya, daun-daunan (plawa) lambang pangejawantahan pikiran suci, ukir-ukiran banten lambang kelanggengan pikiran dalam menyelenggarakan yadnya, raka-raka (buah-buahan dan jajan-jajan banten) lambang para bidadara dan bidadari (para ilmuwan sorga).
Sarana upakara yang dipakai dalam upacara ”Madewasraya” di Pura Tuluk Biyu inipun makna spiritualnya akan mengacu pada nilai-nilai simbolis seperti yang dinyatakan dalam lontar Yadnya Prakerti dan sumber-sumber acuan lainnya yang terdapat dalam sastra suci ajaran agama Hindu
Adapun banten yang melambangkan diri umat yang menyelenggarakan upacara ”Dewasraya” baik secara lahiriah maupun rohaniah. Seperti banten Peras sebagai lambang permohonan umat agar pekerjaan sucinya sukses atau prasidha. Banten Penyeneng lambang permohonan umat agar dapat membangun hidup yang seimbang sekala niskala(kaki penyeneng nini penyeneng) untuk menciptakan sesuatu yang patut diciptakan memelihara dan melindungi sesuatu yang sepatutnya dipralina dan dilindungi dan mempralina sesuatu yang patutnya dipralina. Banten Tulung yang bermakna sebagai media permohonan agar umat dalam kebersamaannya untuk mensukseskan suatu yadnya dapat saling tolong-menolong. Banten Sesayut yang bermakna sebagai permohonan agar umat dapat menyelenggarakan suatu yadnya dengan rencana yang baik dan bertahap dalam memperoleh kerahayuan. Banten Sanggar Pesaksi seperti di Sanggar Surya atau dalam wujud yang lebih utama dalam Sanggar Tawang yang melambangkan Kemahakuasaan Tuhan dan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Banten Daksina lambang alam semesta stana Tuhan. Banten Bebangkit lambang alam yang dahsyat sedangkan Banten Sekar Taman lambang kasih sayang sehingga bebangkit itu menjadi pulagembal yaitu lambang alam yang dapat memberikan kehidupan bagi uamt manusia berupa kebijaksanaan, rasa aman dan kemakmuran. Banten bebangkit Dewanya Dewi Durgha, Banten Sekar taman Dewanya Smara Ratih lambang kasih sayang dan Pulagembal Dewanya Bhatara Gana. Seperti halnya upacara Panca Yadnya dalam kehidupan beragama Hindu selalu menggunakan banten yang dibuat dari bahan-bahan alam ciptaan Tuhan seperti tumbuhan dan hewan.

WANITA SEBAGAI ISTRI

Peranan Wanita (Istri) Dalam Kebahagiaan Rumah Tangga

Sebagai seorang istri dalam kehidupan rumah tangga semestinya mampu menjaga kerukunan, kebahagiaan dan keutuhan keluarga. Karena sikap kebijaksanaan yang dimiliki oleh seorang ibu tentunya dapat dijadikan panutan oleh anak-anaknya. Didikan yang baik dari seorang ibu akan memberikan pengaruh pertumbuhan psikologis yang baik pada anak. Perkembangan kejiwaan anak sangat dipengaruhi oleh kerukunan dan keutuhan rumah tangga. Disinilah peran seorang ibu sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak. Tugas seorang istri sangatlah berat, disamping melayani suami juga mengatur rumah tangga dan mendidik anak dengan penuh kesabaran. Mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya merupakan tugas yang berat. Maka dari itulah dikatakan “ surga berada ditelapak kaki ibu” karena begitu mulianya tugas seorang wanita (istri) dalam rumah tangga. Sebagai kaum laki-laki sudah semestinya menjaga harkat dan martabat wanita, karena dimata Tuhan tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Sudah kewajiban kita semua untuk menghormati wanita, wanita mesti dihargai bukan untuk dilecehkan. Menurut Maftuchah Yusuf (2000: 80) dalam bukunya yang berjudul Perempuan, Agama dan Pembangunan:Wanita sebagai istri adalah merupakan pendamping suami dalam rumah tangga. Wanita dititahkan oleh Tuhan penciptanya untuk dapat melaksanakan tugas kewajiban utamanya ialah dengan disempurnakannya tubuh wanita sedemikian rupa sehingga dapat sesuai dengan tujuan kodrat alamnya, yaitu tujuan mengadakan keturunan, dan memelihara keturunan itu. Secara fisik wanita mungkin sudah matang, namun secara mental dan kesiapan psikis, ekonomis dan sosial mereka masih harus dibina. Inilah salah satu penyebab mengapa istri-istri dan ibu-ibu yang diharapkan mampu mendampingi suami dalam mewujudkan dan membina keluarga yang sehat, bahagia, sejahtera. Wanita dalam kedudukannya sebagai istri dan ibu memegang peranan yang sangat penting, malah menentukan dalam menciptakan kerukunan, keharmonisan, ketenangan dan suasana keamanan bagi seluruh keluarga, perempuan melebihi laki-laki bibidang emotionalitas (rasa terharu), aktivitas (kegiatan) dan kedermawanan. Ketiga-tiganya diperlukan untuk dapat bertahan dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang begitu besar dalam melaksanakan tugas istri dan ibu.
Dalam Sarasamuccaya 424, menyatakan wanita:
Na stribhyah kincidanyadvai papiyo bhuvi vidyate, striyo mulamanarthanam manasapi ca cintitah
Artinya :
Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita dalam hal membuat kesengsaraan, apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat, karenanya singkirilah wanita itu, meskipun hanya diangan-angan, hendaklah ditinggalkan saja.
Wanita (istri) dalam cerita Ramayana, dikisahkan seorang istri yang sangat menyanjung kesetiaan terhadap suaminya yaitu kisah perjalanan cinta Dewi Sita dengan suaminya Sang Rama. Saat Dewi Sita diculik oleh Raksasa bernama Sang Rahwana, Dewi Sita mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan kehormatannya. Cinta dan kehormatannya Ia jaga hanya untuk suaminya Sang Rama, meskipun dibujuk dengan ribuan rayuan dan bergelimang harta, Dewi Sita tetap tidak terpengaruh oleh rayuan Rahwana. Bahkan Dewi Sita rela mengorbankan nyawa demi kesetiannya kepada suaminya. Bagi kaum istri, marilah kita meniru kisah kesetiaan Dewi Sita terhadap Rama suaminya. Jalankanlah kewajiban sebagai seorang istri dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan kesetiaan
Jadi sudah semestinya kita untuk menghormati wanita dan menjaga harkat dan martabatnya karena wanita juga ciptaan Tuhan yang memiliki persamaan derajat dengan laki-laki. Kita semua lahira dari rahim perempuan, jangan pernah untuk menghina dan merendahkan harga diri seorang wanita yang bagaiakan seorang ibu, menghina wanita atau menyakiti istri sama dengan menyakiti ibu yang melahirkan kita. Karena dikatakan surga berada ditelapak kaki ibu.