Jumat, 22 Januari 2010

MAUSALA PARWA

Mausala Parwa
1. Berakhirnya Perang Besar
Tiga puluh enam tahun setelah perang besar berakhir, terjadilah pertanda-pertanda alam yang buruk maknanya. Maharaja Yudistira menyadari akan adanya tanda-tanda ini, angin kering bertiup kencang, debu, pasir, dan bahkan batu-batu kerikil beterbangan dari berbagai penjuru. Kaki langit seolah-olah tertutup mendung tebal. Cirit bintang berjatuhan menghantam bumi dengan bara panas berpijar. Matahari bagaikan selalu tertutup debu. Pada saat terbit dan saat terbenam, bundaran matahari itu seolah-olah disilang oleh tubuh-tubuh tanpa kepala. Nampak melingkari matahari dan bulan suatu lingkaran cahaya yang mengerikan. Lingkaran ini memperlihatkan tiga warna, hitam kasar, abu-abu, dan merah. Banyak lagi gejala-gajala alam yang menjadi ciri kemusnahan dan kehancuran. Dan benar saja, tidak lama kemudian, Maharaja Yudistira menerima kabar tentang mengamuknya para ksatria bangsa Wrishni dan dari antara mereka semuanya, hanya Wasudewa dan Rama saja yang selamat dari amukan massal itu. Dan yang lebih mangagetkan adalah berita tentang kemangkatan Wasudewa. Berita itu sangat sukar dipercaya, seolah-olah berita tentang mengeringnya air lautan.
Apalagi setelah diketahui bahwa kehancuran bangsa Wrishni itu diakibatkan oleh kutukan Brahmana. Sungguh mustahil dan aneh, sungguh aneh, bahwa kemusnahan itu disebabkan oleh ledakan-ledakan bom yang terbuat daripada besi. Sebenarnya apakah yang terjadi di Dwaraka?.
2. Kutukan Para Brahmana
Pada suatu hari, beberapa orang ksatri bangsa Wrishni, Sarana, salah seorang dari antaranya melihat kedatangan para rsi, yaitu Wiswamitra, Kanwa, dan Narada mengunjungi ibu kota kerajaan Dwaraka. Kelompok ksatria ini, karena memang telah terkena kutuk dewata, mencoba mengelabui para Brahmana itu, yaitu dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sangat menghina sifatnya. Samba menyamar menjadi wanita hamil, lalu beramai-ramai diarak dan diantarkan menghadap para Brahmana yang baru tiba itu. Salah seorang lalu mengajukan pertanyaan sebagi berikut, ”Wanita ini adalah istri Wabhru yang terkenal sakti itu dan ia sedang hamil tua. Dapatkah wahai Brahmana, mengatakan dengan setepatnya, apakah yang akan lahir dari kandungan ini?” ketiga Brahmana yang teramat sakti saling pandang satu sama lain. Kemudian dengan sangat marahnya, keluarlah kutukannya yang sangat dahsyat, ”keturunan Wasudewa ini bernama Samba, ia akan melahirkan sebuah bom besi yang akan meledak dan menghancurkan bangsa-bangsa Wrishni dan Andhakasa. Kalian semua sungguh berhati jahat, kejam dan mabuk kesombongan. Kalian akan saling bunuh dan bom-bom besi akan memusnahkan seluruh bangsa ini, kecuali Rama dan Janardhana. Rama ksatria bersenjatakan luku itu akan kembali ke dalam samudra, sementara Krishna yang sangat mulia itu akan tewas terkena panah seorang pemburu bernama Jara, pada waktu baginda sedang rebah di atas tanah melakukan yoga.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ketiga brahmana maha sakti itu meneruskan perjalanannya keistana untuk berjumpa dengan Kesawa. Krishna yang dijuluki pembunuh Raksasa Madhu setelah menerima laporan tentang kejadian itu, segera mengumumkannya kepada para pembesar bangsa Wrishni, beliau pun menegaskan bahwa segala sesuatu yang telah ditakdirkan, tidak dapat ditolak dan pasti akan terjadi. Setelah mengumumkan dan membicarakan masalah itu, Hrsikesa mengundurkan diri ke istana. Takdir yang telah ditentukan oleh penguasa alam memang tidak dapat dielakkan.
Keesokan harinya, Samba mengeluarkan bom terbuat dari besi dari dalam perutnya. Bom itu nampaknya mengerikan bagaikan maut itu sendiri. Kejadian ini dilaporkan kehadapan raja. Raja Ugrasena memerintahkan agar bom itu dimusnahkan dan kepingan-kepingannya agar dibuang kelaut. Benyak tenaga yang diperlukan untuk menghancurkan bom itu hingga hancur menjadi abu.
Dan sejak saat itu Ahuka Janardhana, Rama, dan Wabhru memerintahkan kepada segenap lapisan masyarakat untuk tidak meminum dan membuat minuman keras. Mereka yang melanggar akan dihukum seumur hidup bersama-sama dengan sanak keluarganya. Karena takut kepada raja, semua rakyat mentaati larangan itu.

3. Sanghyang Kala Penyebar Maut
Tetapi sementara bangsa Wrishni dan Andhaksa mentaati segala peraturan untuk mencegah terjadinya kekacauan, Sanghyang Kala terus menerus mengembara dari rumah ke rumah untuk menyebar maut. Sering orang melihat manusia hitam dan menyeramkan berkepala botak mamasuki rumah-rumah. Para ahli mamanah telah berkali-kali mencoba menembaknya, namun semua mereka itu gagal membunuhnya. Dia itulah sebenarnya Sang Kala, pemusnah segala makhluk.
Angin kencang terus-menerus bertiup, disertai oleh ciri-ciri alam yang tidak bisa berarti lain kecuali kehancuran bagi bangsa Wrishni dan Andhakasa. Tikus-tikus merajalela dimana-mana, kendi-kendi dan barang-barang lain yang terbuat dari tanah liat retak-retak atau pecah tanpa sebab. Pada waktu malam hari, tikus-tikus menggerogoti kaki dan rambut orang-orang yang sedang tidur. Burung-burung Sarika hinggap dan ramai berbunyi di atas atap baik siang maupun malam. Burung Sarasha berbunyi bagaikan burung hantu dan domba-domba berbunyi sebagai serigala. Banyak burung-burung berkeliaran seolah-olah takut kepada kematian, tubuhnya pucat dan kaki-kakinya berwarna merah. Burung-burung merpati selalu terlihat terbang meninggalkan rumah-rumah bangsa Wrishni. Keledai terlahir dari induk sapi dan gajah terlahir dari induk keledai. Kucing terlahir dari anjign betina, dan tikus-tikus dari kucing betina. Pelanggaran-pelanggaran susila telah terjadi dimana-mana.
Orang tidak merasa malu lagi dengan terang-terangan melanggar susila. Para brahmana, pitri, dan dewa-dewa tidak dihormati sebagaimana mestinya. Orang-orang sering menghina guru dan atasan. Dari antara bangsa Wrishni itu hanya Rama dan Janardhana saja yang bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kesusilaan. Para istri telah menghianati suami dan para suami menghianati istri. Dan api, apabila dinyalakan, nyalanya itu selalu meliuk kekiri. Kadang-kadang mereka mempermainkan api yang bernyala biru dan merah. Matahari pagi dan senja nampak bagaikan dikitari oleh bayangan tubuh-tubuh manusia yang tidak berkepala. Makanan-makanan yang telah dimasak dengan baik dan bersih pada saatnya disajikan penuh dengan ulat beraneka ragam.
Golongan brahmana hanya menerima hadiah-hadiah pada saat-saat tertentu, yaitu setelah memperhitungkan untuk orang-orang lain hari-hari baik guna melakukan suatu pekerjaan atau upacara orang-orang yang rajin bersembahyang, bersamadhi, atau membaca mantra-mantra, selalu diganggu oleh suara derap dan deru yang tidak dapat dituduhkan siapakah yang menimbulkannya. Gugus-gugus bintang sering terlihat dihantam oleh planet-planet.
Tidak ada seorang pun dari bangsa Yadawa yang dapat melihat lagi konstelasi bintang kalahirannya. Setiap kali panchajanya ditiup dirumah-rumah, maka terdengarlah suara hingar-hingar memekakkan telinga dari segala jurusan.
Semua ciri-ciri itu merupakan pertanda waktu telah matang dan alam pun telah mendekati kemusnahan. Bulan mati (tilem) yang biasanya jatuh pada hari (panglong) yang kelima belas ini telah terjadi pada hari keempat belas, atau pada panglong ketigs belas. Karena itu Hrsikesa mengumumkan kepada bangsa Yadawa sebagai berikut, ”Panglong keempat belas telah digelapkan oleh Rahu. Tanda-tanda seperti ini pernah terjadi pada waktu perang Bharata berlangsung. Rupanya saat kehancuran kita telah mendekat”.
Janardhana yang sakti, pembunuh raja Kesi, telah menyadari bahwa tahun ketiga puluh enam yang dahulu telah diramalkan oleh Gandhari kini sudah tiba. Tanda-tanda yang nampak sekarang memang sama dengan apa yang dilihat Yudistira pada waktu kedua pasukan yang saling bermusuhan berhadap-hadapan di medan pertempuran. Karena itu Wasudewa memerintahkan agar semua rakyat bersiap siaga untuk menjaga segala kemungkinan kalau-kalau apa yang diramalkan Gandhari benar terjadi. Wasudewa juga memerintahkan agar semua lapisan masyarakat melakukan perziarahan dan menyucikan diri ke tempat-tempat suci seperti ke pantai-pantai dan sungai-sungai keramat.

4. Hancurnya Bangsa Wrishni dan Andhakasa
Pada waktu itu kaum wanita bangsa Wrishni setiap malam bermimpi bahwa seorang wanita berkulit hitam legam dan bergigi putih telah muncul memasuki rumah-rumah dan tertawa berbahak-bahak, berlarilari seperti gila di jalan-jalan kota Dwaraka, serta merebut benang-benang tridatu yang dibelitkan pada pergelangan tangan para penduduk. Kaum laki-laki pun bermimpi bahwa seekor burung sangat dahsyat telah memasuki rumah mereka dan mengobrak-abrik tempat pemujaan serta mencuri pusaka-pusaka keramat seperti payung, keris, dan sebagainya. Dan oleh semua rakyat Wrishni disaksikan senjata cakra yang maha dahsyat kepunyaan Krishna terbang ke angkasa. Kereta Wasudewa yang cemerlang bagaikan surya itu lengkap dengan segala peralatannya telah terbang sendiri ditarik oleh keempat ekor kuda penariknya, yaitu Saiwya, Sugriwa, Meghapushpa, dan Walahaka. Kereta itu melesat menyusuri permukaan laut. Bendera kebesaran yang biasanya dipasang oleh Krishna dan Baladewa pada kereta masing-masing telah dibawa pergi oleh para apsara, penjaga-penjaganya. Bendera kebesaran Krishna berlambangkan burung garuda dan milik Baladewa berlambangkan pohon Palmyra, masing-masing sangat dijunjung tinggi oleh kedua ksatria tersebut. Kedua bendera itu dibawa lari oleh para apsara yang setiap hari menyerukan kepada penduduk agar melakukan perziarahan-perziarahan ketempat-tempat yang berair suci.
Orang-orang Andhakasa, Bhoja, Saineya, dan Wrishni, digerakkan oleh takdir kemusnahannya, tidak berhenti mengamuk dan saling bunuh satu sama lain. Dan siapapun, yang pada waktu itu sempat menggenggam rumput Eraka, seketika itu juga rumput tersebut berubah menjadi bom-bom yang sangat dahsyat. Inilah akibat dari kutukan brahmana itu. Rumput-rumput eraka yang dilemparkan, meledak dengan hebat menembus apa saja meski dinding sekeras baja sekalipun. Setiap helai rumput yang dilontarkan, berubah menjadi bom yang dahsyat. Perkelahian semakin membabi buta, tidak memandang siapa lawan siapa kawan. Anak membunuh ayah dan ayah membunuh anak. Mereka semua mabuk, maka terjadilah perkelahian massal yang kacau balau. Orang-orang Kukura dan Andhaksa berjatuhan bagai serangga menyerang nyala api. Dan anehnya, tidak ada seorang pun yang punya pikiran untuk meninggalkan tempat perkelahian itu. Melihat kenyataan ini Kesawa semakin yakin bahwa saat kehancuran total yang sudah diramalkan oleh Gandhari, memang sedang berlangsung. Karena itu ia hanya berdiri disana sambil bersiap siaga. Di tangannya telah siap sebuah bom untuk dilemparkan. Kemudian dilihatnnya Samba, Charudeshna. Pradyumna, dan Anirudha telah tewas. Madhawa menjadi sangat murka, lalu dilontarkannya bom di tangannya dan hancurlah seluruh bangsa Wrishni dan Andhakasa. Melihat kenyataan itu, Wabhru dan Daruka nan perkasa menghadap Khrisna dan berkata, ”wahai paduka nan suci, ribuan orang telah mati terbunuh oleh tangan paduka sendiri. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi mencari Rama. Hamba berdua berkehendak menyusul kemana Rama pergi”.

5. Tewasnya Khrisna
Bertiga mereka berangkat ketempat Rama menyepikan diri. Ketika itu rama sedang melakukan samadhi duduk bersandar di bawah pohon, di suatu tempat dipinggir hutan yang sunyi. Setelah sampai di tempat itu. Krishna memerintahkan kepada Daruka untuk membawa kabar ke negeri Kuru serta mengajak Arjuna untuk datang segera ke negeri Yadu yang telah hancur terkena kutukan brahmana itu. Sementara itu kepada Wabhru, Krishna memerintahkan sebagai berikut, ”kembalilah segera keistana. Jaga semua wanita dan anak-anak yang berlindung di sana. Jangan biarkan perampok dan penyamun menganiaya mereka atau merampas harta benda yang tersimpan di istana”.
Saat Rama sedang duduk terserap dalam yoga yang sangat dalam. Dari dalam rongga mulutnya ke luar seekor ular yang luar biasa. Kulitnya putih cemerlang dengan ribuan kepalanya dan bertubuh sebesar gunung. Matanya menyala-nyala merah. Perlaha-lahan bergerak menuju lautan, memang telah lama roh suci naga ini manjelma sebagai manusia. Kini ia keluar meninggalkan jasadnya. Naga yang dahsyat itu disambut oleh dewa, para naga, dan dewa-dewa sungai. Semua menyambut roh suci Rama, mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki, dan upacara lainnya. Semua memuja naga yang luar biasa itu.
Setelah kakaknya meninggalkan dunia ini, Wasudewa masih mengembara untuk beberapa waktu lamanya di dalam hutan. Tenaganya masih hebat seperti dahulu. Wasudewa ini sebenarnya adalah perwujudan dewa yang maha agung, karena itu sebenarnya beliau mengetahui segala-galanya. Akan tetapi beliau tidak terlepas dari kebutuhan manusia biasa dalam penjelmaannya ini. Dalam penjelmaannya ini beliau bertugas menjaga kelestarian ketiga dunia dan juga mengukuhkan kebenaran ucapan-ucapan putra Atri, Rsi Durwasa itu. Kini perasaan, ucapan, dan pikirannay telah dipersatukan. Tubuhnya rebah terlentang da dalam keadaan samadhi tingkat yang tertinggi. Tiba-tiba muncul di tempat itu seorang pemburu bernama Jara. Ia sedang memburu kijang. Kesawa yang terlentang di tanah sepintas lalu disangkanya seekor kijang. Panah terlepas dari busurnya, melesat dan menancap tepat ditelapak kaki Krishna. Jara menjadi pucat karena yang disangkanya kijang itu ternyata seorang pertapa berjubah kuning dan sedang melakukan yoga. Ia gemetar setelah melihat roh suci Krishna telah keluar dengan tangan-tangan banyak sekali, menjulur-julur keluar. Jara memohon ampun, menyembah serta memegangi kaki Krishna. Dengan ucapan penuh kasih sayang Kesawa menghibur hati Jara. Sesampainya di alam surga, beliau disambut oleh Wasawa, Aswin, Rudra, Aditya, Para Wasu, Wiswadewa, Para Muni, Siddha da para pemuka golongan Gandharwa ditambah para Apsara. Karena beliau berasal dari Narayana, para Ghandarwa menjaga, memujanya dengan nyanyian-nyanyian suci, bahkan Indra sekalipun memuja dia yang maha tinggi.

6. Kesedihan Menyelimuti Kota Drawaka
Daruka telah sampai ke negeri Kuru dan menghadap kepada putra-putra Pritha. Ia mengabarkan bahwa bangsa Wrishni telah musnah. Pandawa menerima berita kehancuran bangsa-bangsa Wrishni, Bhoja, Andhakasa, dan Kukura itu sangat terkejut dan sedih. Pengunduran diri Krishna ke alam kekal merupakan suatu berita yang sulit dipercaya, seandaikan semua samudra telah menjadi kering. Lebih-lebih kehancuran itu karena kutukan brahmana dan bom-bom yang meledak. Segera Arjuna sahabat Kesawa itu mohon diri untuk berangkat menjenguk paman dari pihak ibunya. Kota Dwaraka kosong dan sepi. Wanita-wanita di istana yang dahulu diperistri oleh Kesawa semuanya kini tidak bersuami. Melihat Patha datang untuk melindungi mereka, semuanya lalu menjerit menyatakan kedukaan hatinya. Enam belas ribu wanita telah dipersunting oleh Wasudewa, semuanya kini menangis sedih ditinggalkan suami yang patut melindungi mereka. Arjuna tidak dapat menahan air mata setelah menyaksikan keadaan mereka. Sungai yang melintas kota Dwaraka, sejak semula telah menjadi sumber penghidupan bangsa Wrishni dan Andhakasa nampak menakutkan bagaikan Waitarani yang ganas sedang diringkus oleh jaring sang waktu. Tidak kelihatan lagipahlawan-pahlawan bangsa Wrishni yang gagah perkasa itu. Sedih dan kelabu bagaikan kembang padma di musim dingin salju.

7. Arjuna Menyaksikan Kehancuran Bangsa Yadu
O, Arjuna dia berpesan begini kepadaku ”akhirnya kemusnahan bangsa kita terjadi juga. Wibhatsu segera akan datang ke kota Dwarawati ini. Ceritakanlah kepadanya semua yang terjadi. Ananda yakin setelah mendengar berita kehancuran bangsa Yadu ini, sahabatku itu pasti datang secepatnya. Ketahuilah, O, Ayahku, bahwa ananda ini Arjuna dan Arjuna itu (adalah sama dengan) hamba sendiri. Taatilah apapun yang dianjurkan olehnya untuk dilakukan. Putra Pandu itu pasti akan melakukan apa pun yang terbaik bagi para wanita dan anak-anak itu. Bahkan, dia pula yang nanti akan menyelenggarakan upacara pemakaman ayahanda. Adapun kota Dwarawati ini, segera setelah ditinggalkan pergi oleh Arjuna, lengkap dengan tembok-temboknya, akan dihancurkan dan ditelan oleh gelombang laut pasang. Hamba sendiri akan mengundurkan diri ke suatu tempat suci bersama-sama dengan Rama serta menantikan kedatangan ajal hamba. Hamba akan melakukan tapa brata dengan ketat”. Demikian Hrisikesa berpesan kepadaku O, Ananda Arjuna, dan kini dia telah pergi entah kemana. Sejak saat itu aku telah berpuasa tidak pernah makan dan hatiku telah hancur luluh. Aku tidak akan mau makan ataupun hidup. Untung ananda masih menemukan aku dalam keadaan masih hidup di tempat ini. Lakukanlah apa yang dipesankan oleh anakku itu, O, putra Pritha. Aku akan segera melepaskan jiwaku ini, betapapun aku masih menyayanginya.

8. Wasudewa Mangkat
Dengan perasaan sedih tetapi masih tersedu-sedan, Wibhatsu menjawab kata-kata pamannya. ”Pamanda, hamba pun tidak sanggup melihat dunia ini yang telah ditinggalkan oleh para pahlawan bangsa Wrishni dan oara pahlawan kaum kerabat hamba sendiri yang lain. Kakanda Maharaja Bhimasena, Sahadewa, dan Nakula demikian juga Yadnaseni, semuanya telah sependapat dengan ananda. Waktu yang terakhir pun telah tiba buat kami juga. Waktu itu telah sangat dekat. Hamba tahu bahwa pamanda adalah seorang diantara mereka yang paling memahami berlangsungnya gerakan waktu. Tetapi sebelum saat ini tiba hamba ingin memindahkan kaum wanita, anak-anak dan orang tua bangsa Wrishni ke Indraprastha.
Dengan diliputi kesedihan, dikumpulkannya para wanita dan barang-barag yang tersisa. Sambil menunduk dan menangis mereka melanjutkan perjalanan sampai ke Kuruksetra. Di sana rombongan itu dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Putera Kritawarman memimpin kaum wanita bekas kekuasaan Raja Bhoga dan membangun tempat pemukiman di Marttikawat. Sebagian lagi kaum wanita, orang-orang tua dan anak-anak dipimpin oleh Arjuna ke Indraprastha dan endirikan tempat pemukiman disana. Putra Yuyudhana, atas perkenaan Arjuna, memimpin rombongannya untuk mendirikan tempat pemukiman di tepi sungai Saraswati. Bajra menjadi raja Indraprastha.

9. Nasihat Maharsi Wyasa Kepada Arjuna
Rsi Wyasa bersabda. ”para pahlawan kereta bangsa Wrishni dan Andhakasa semuanya telah dimusnahkan oleh kutukan Brahmana. Karena itu janganlah dirisaukan lagi akan kehancuran mereka. Apa yang terjadi dengan bangsa-bangsa itu memang dahulu telah ditetapkan. Itulah takdir yang sama sekali tidak mungkin lagi untuk diletakkan. Kejadian itu memang harus dihadapi oleh para pahlawan itu. Krishna harus mampu menahan penderitaan itu, meskipun dia tidak mampu menghalangi agar kejadian itu tidak berlangsung. Gowinda itu mahakuasa, dia mampu meski merubah arahnya gerakan alam semesta lengkap dengan segala isinya apabila dia menghendakinya. Apalah artinya sekedar kutukan brahmana. Krishna yang biasa menjadi sais keretamu itu adalah Wasudewa sendiri, yaitu maharsi yang ada sejak mula pertama alam penciptaan dan penjelmaannya di dunia ini sebagai Krishna adalah meringankan penderitaan di dunia ini. Tugasnya itu kini sudah selesai dan setelah melepaskan jasadnya sebagai manusia dia telah kembali ke tempatnya semula. Sedangkan cucunda sendiri, wahai ksatria, dengan dibantu oleh Bhima dan saudara kembar Nakula dan Sahadewa, juga turun ke bumi ini untuk melaksanakan tugas yang digariskan oleh Dewata mulia. Tugas-tugas itu telah kau rampungkan seluruhnya. Engkau dan saudara-saudaramu yang lain, menurut pendapatku telah berhasil dengan gemilang. Saatnya memang telah tiba untuk kalian semua mengundurkan diri. Dan pengunduran diri adalah jalan yang terbaik yang patut ditempuh dalam situasi seperti ini. Wahai ksatria, camkanlah kata-kataku ini. Bahwa pengertian, kekuatan, dan pandangan luas, baru akan muncul apabila kemakmuran bagi semua sudah tercapai. Semuanya itu akan lenyap apabila kemiskinan dan kekacauan merajalela. Semua itu bersumber dari sang waktu. O, Dananjaya benih pertama dari alam semesta ini, waktu itulah yang akan memusnahkan segala-galanya. Seseorang menjadi kuat, hebat dan mulia, dan kemudian kehilangan segala-galanya. Seseorang menjadi raja, dan kemudian digulingkan untuk menjadi hamba sahaya. Senjata cucunda telah kembali ke tempat asalnya. Dan ia akan kembali ke tanganmu apabila saatnya telah tiba nanti. Inilah saatnya buat kamu sekalian mempersiapkan diri guna mencapai tujuan terakhir. Ini saja yang dapat kuanjurkan untuk saat ini!”.
Setelah mendengarkan nasihat itu, Aruna kembali ke kerajaan Pandawa serta melaporkan segala sesuatunya kehadapan Yudistira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar