Jumat, 22 Januari 2010

PURA TULUK BIYU KAHYANGAN JAGAT

Pura Tuluk Biyu yang sering disebut Pura Batur Kanginan ini tergolong Pura Dewa Pratistha. Artinya yang menjadi pusat pemujaan di Pura Tuluk Biyu ini adalah Tuhan sebagai Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya yaitu Dewa Uma Parwati. Bhatara Siwa Giri Natha beserta dengan Saktinya inilah sebagai Ista Dewata tertinggi yang di puja di Pura Teluk Biyu ini. Di pura ini memang ada beberapa pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur seperti adanya beberapa Pelinggih untuk memuja Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Antara lain: Pelinggih Ida Ratu Maspahit Ida Ratu Dalem Majelekah, Majelanggu.
Pura Tuluk Biyu yang berdiri megah di sebelah selatan Pura Ulun Danu Batur di pinggir jalan Denpasar Singaraja lewat Kintamani ini sering juga disebut Pura Batur Kanginan. Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu pada mulanya berada di Desa Batur di bawah lereng Gunung Batur. Saat berada di bawah Pura Tuluk Biyu ini letaknya memang disebelah Timur Pura Ulun Danu Batur yang berada disebelah Utara Pura tuluk Biyu sekarang ini. Saat Bali diserang gempa yang sangat dasyat yang juga disebut jaman ”Gejer” Pura Ulun Danu Batur dan juga Pura Tuluk Biyu dan juga Pura-Pura lainnya di Bali banyak yang hancur berantakan. Untuk membangun kembali di Pura yang hancur tersebut maka Pura yang hancur di bawah kaki Gunung Batur itu lantas dibangun kembali di tempatnya yang sekarang di pinggir sebelah timur jalan Kintamani menuju Singaraja dari Denpasar. Karena itu Pura Ulun Danu Batur dan Pura Tuluk Biyu dewasa ini berjejer di timur jalan Kintamani Singaraja.

Riwayat Berdirinya Pura Tuluk Biyu
Pura Tuluk Biyu adalah Pura Kahyangan Jagat. Artinya Pura ini meupakan Pura untuk pemujaan umum bagi umat Hindu. Siapa saja umat Hindu di Bali maupun di luar Bali boleh saja melakukan pemujaan di Pura Tuluk Biyu ini. Pura Tuluk Biyu ini di duga didirikan pada jaman pemerintahan Raja Udayana. Salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Udayana berangka tahun 933 Saka, ada yang menyatakan suatu daerah yang disebut ” Karaman iwingkan ranu Air Hawang ”, yang mungkin maksudnya ada suatu Desa (karaman) di bintang danu di Gunung Abang. Dalam prasasti Jaya Pangus berangka tahun 1103 Saka ada menyebutkan nama raja ”Paduka Sri Maha Raja Haji Jaya Pangus Arkaja. Juga ada menyatakan Bhatara Tuluk Biyu dan Desa Erabang. Disamping itu juga ada menyatakan adanya penyelesaian persengketaan atau kekacauan dalam pemerintahan dan masyarakat.
Dalam prasasti Raja Wijayarajasa dengan angka Tahun Saka 1306 upacara atau hari raya keagamaan di Herabang. Disamping itu pernyataan prasasti Air Hawang dengan angka tahun Saka 933 yang menyatakan adanya upacara Dewasraya untuk Sang Hyang Wukir Kulit Biyu.
Disamping adanya data-data prasasti tersebut ada juga cerita rakyat yang diterima turun-temurun tentang adanya keadaan bumu Bali yang kacau sehingga Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Giri Natha mengutus Bhatara Narada turun ke bumi membawa Tirtha Banyu Geger ini di bawa dengan menggunakan kulit pisang mas dengan di potong dua. Isi pisang emas itu dikeluarkan terus dijadikan tempat Tirtha Banyu Geger tersebut. Untuk memercikan Tirtha kulit pisang emas itu diganti dengan menggunakan bambu kuning. Setelah Tirtha Banyu Geger itu dipercikan pada tempar-tempat yang bermasalah keadaan Gumi Bali menjadi tentram dan Jagat Hita dan rakyat hidup sejahtera lahir batin. Penyampaian Tirtha Banyu Geger itulah sebagai puncak Upacara Madewasraya untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa melakukan upaya kehidupan yang bernilai keagamaan yang bertujuan untuk mencapai Madewasraya atau penyerahan diri dengan dasar yadnya dan bhakti untuk mendapatkan perlindungan Tuhan. Dalam rangka itulah didirikan Pura Tuluk Biyu di Kintamani sebagai media pemujaan Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Giri Natha atau Parwataswara beserta dengan Dewi Uma Parwati sebagai Dewi Giri Putri. Jadi Pura Tuluk Biyu tersebut sebagai sarana suci untuk mengingatkan umat Hindu terutama di Bali agar senantiasa melaksanakan yadnya dan bhakti pada Ida Bhatara Giri Natha di Gunung Abang dengan konsep Madewasraya. Dari pelaksanaan Madewasraya yang baik, benar dan tepat di Pura Tuluk Biyu itu umat akan memperoleh Tirtha suci Banyu Geger. Tirtha ini adalah simbol sakral yang wajib diyakini kesucian dan manfaatnya bagi pengembangan kehidupan yang dinamis tetapi tetap harmonis mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahtera lahir dan batin.
Arti dan makna tirtha suci Banyu Geger kalau direnungkan lebih dalam lagi memiliki arti dan makna yang sangat dalam bagi kelangsungan hidup umat Hindu terutama umat Hindu di Bali. Kata ” Banyu ” dalam bahasa Jawa Kuna berarti air yang hening dan suci lambang kehidupan. Karena bahan makanan umat manusia berasal dari air. Tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak akan bisa hidup tanpa air. Karena itu Canakya Nitisastra menyatakan air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan /obat-obatan dan kata-kata bijak adalah merupakan tiga Ratna Permata di bumi. Sedangkan kata ”Geger” artinya sama dengan ”dhira” artinya tangguh atau tidak mudah goyah. Ini artinya keadaan Madewasraya akan dapat diwujudkan apabila dalam hidup ini manusia selalu minum air kesucian yang dapat membuat manusia memiliki daya tahan mental yang tangguh tidak mudah tergoda AGHT kehidupan di dunia ini. AGHT adalah ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan. Maka hakekat keberadaan Pura Tuluk Biyu dengan upacara Madewasraya serta Tirtha Banyu Gegernya eksistensi universalnya wajib semakin dimunculkan ketengah-tengah umat Hindu khususnya dan masyarakat luas pada umumnya karena upaya untuk mencari perlindungan pada Tuhan (Dewasraya) itulah suatu upaya yang paling tepat pada jaman kali ini.

Pelinggih Pemujaan di Pura Tuluk Biyu
Di Pura Tuluk Biyu Bhatara Siwa Giri Natha dan Bhatari Uma Parwati di wujudkan dengan dua jenus simbol, ada yang berbentuk Arca (Pratima) dan berbentuk Pelinggih Meru. Dua arca emas setinggi kurang lebih 30cm yang merupakan perwujudan simbolik Ida Bhatara Siwa Giri Natha dan Ida Bhatara Uma Parwati. Umat menyebut arca itu bhatara dan Bhatari Tuluk Biyu. Dalam prasasti Air Hawang 1011 M, dinyatakan sebagai Bhatara Kulit Biyu. Dua arca emas tersebut sangat identik dengan Arca Siwa Parwati dari Gemuruh Wonosobo Jawa Tengah dan juga arca emas dan perak yang melambangkan Dewa Siwa dan Parwati di gua Seplawan di Purworejo. Bhatara Siwa Giri Natha dan Bhatari Uma Parwati juga di puja dalam Palinggih Meru Tumpang Sembilan dan Meru Tumpang Tujuh. Meru Tumpang Sembilan ini didirikan di bagian sisi Timur Jeroan Pura Tuluk Biyu dan disebelah atau di selatannya atau sebelah kirinya Meru Tumpang Tujuh. Umat umumnya menyebutnya Meru Tumpang sembilan ini sebagai pelinggih Ida Bhatara Sakti Tuluk Biyu Puri Kaleran sedangkan Meru Tumpang Tujuh sbagai pelinggih Ida Bhatara Sakti Tuluk Biyu Puri Kelodan. Di dua Meru inilah Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sebagai Bhatara Siwa Giri Natha di puja sebagai purusa dan pradhana. Di Meru Tumpang Sembilan sebagai purusa yang memberikan jiwa niskala pada kehidupan isi alam semesta. Sedangkan di Meru Tumpang Tujuh beliau di puja sebagai pradana yang memberikan kesejahteraan hidup sekala pada isi alam ini terutama manusia. Di depan dua Meru tersebut terdapat bangunan pelinggih yang cukup megah berupa Bale Pasamuan. Bale Pasamuan yang beratap ini sebagai media Ida Bhatara tedun, ngeluhur, dan masimpen. Saat puja wali atau ada upacara besar di Bale Pasamuan inilah Ida Bhatara Bhatari Tuluk Biyu dilambangkan tedung memulai umatnya memberikan wara nugraha atau mapaica sweca kepada umatnya yang melakukan yadnya dan bhakti pada Ida Bhatara Siwa Giri Natha yang disebut Bhatara Sakti Tuluk Biyu. Saat selesai upacara puja wali melalui Bale Pasamuan inilah Ida Bhatara ”masineb” teru ke Palinggih Meru yang ada di timur Bale Pasamuan tersebut.

Makna Banten Upakara ”Madewasraya”
Upacara :Madewasraya” ini adalah suatu upakara untuk ,mewujudkan Tattwa dan Susila Sastra suci ajaran Agama Hindu di Pura Tuluk Biyu. Karena itu makna Banten Upacara ”Dewasraya” itupun tidak akan menyimpang dari Tattwa dan Susila Sastra suci ajaran Agama Hindu. Arti dan makna Banten secara umum ada dinyatakan dalam Lontar Yadnya Prakerti sbb :
Sahananing bebantenan pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida bhatara, pinaka andabhuwana.......sekare pinaka keheningan katulusan kayunta mayadnya, plawa pinaka peh pakayunane suci, reringgitan tatuwasan ipun pinaka kelanggengan kayune mayadnya, raka-raka pinaka widyadhara-widhya dhari.

Maksunya : segala jenis banten lambang diri manusia, lambang kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga simbol keheningan dan ketulusan beryadnya, daun-daunan (plawa) lambang pangejawantahan pikiran suci, ukir-ukiran banten lambang kelanggengan pikiran dalam menyelenggarakan yadnya, raka-raka (buah-buahan dan jajan-jajan banten) lambang para bidadara dan bidadari (para ilmuwan sorga).
Sarana upakara yang dipakai dalam upacara ”Madewasraya” di Pura Tuluk Biyu inipun makna spiritualnya akan mengacu pada nilai-nilai simbolis seperti yang dinyatakan dalam lontar Yadnya Prakerti dan sumber-sumber acuan lainnya yang terdapat dalam sastra suci ajaran agama Hindu
Adapun banten yang melambangkan diri umat yang menyelenggarakan upacara ”Dewasraya” baik secara lahiriah maupun rohaniah. Seperti banten Peras sebagai lambang permohonan umat agar pekerjaan sucinya sukses atau prasidha. Banten Penyeneng lambang permohonan umat agar dapat membangun hidup yang seimbang sekala niskala(kaki penyeneng nini penyeneng) untuk menciptakan sesuatu yang patut diciptakan memelihara dan melindungi sesuatu yang sepatutnya dipralina dan dilindungi dan mempralina sesuatu yang patutnya dipralina. Banten Tulung yang bermakna sebagai media permohonan agar umat dalam kebersamaannya untuk mensukseskan suatu yadnya dapat saling tolong-menolong. Banten Sesayut yang bermakna sebagai permohonan agar umat dapat menyelenggarakan suatu yadnya dengan rencana yang baik dan bertahap dalam memperoleh kerahayuan. Banten Sanggar Pesaksi seperti di Sanggar Surya atau dalam wujud yang lebih utama dalam Sanggar Tawang yang melambangkan Kemahakuasaan Tuhan dan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Banten Daksina lambang alam semesta stana Tuhan. Banten Bebangkit lambang alam yang dahsyat sedangkan Banten Sekar Taman lambang kasih sayang sehingga bebangkit itu menjadi pulagembal yaitu lambang alam yang dapat memberikan kehidupan bagi uamt manusia berupa kebijaksanaan, rasa aman dan kemakmuran. Banten bebangkit Dewanya Dewi Durgha, Banten Sekar taman Dewanya Smara Ratih lambang kasih sayang dan Pulagembal Dewanya Bhatara Gana. Seperti halnya upacara Panca Yadnya dalam kehidupan beragama Hindu selalu menggunakan banten yang dibuat dari bahan-bahan alam ciptaan Tuhan seperti tumbuhan dan hewan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar